PANGKALPINANG, OkeyBung.com – Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Didit Srigusjaya, menegaskan bahwa Pulau Tujuh secara hukum merupakan bagian dari wilayah Provinsi Bangka Belitung, bukan milik Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) seperti yang diklaim saat ini.
“Jika kita lihat di UU Nomor 12 Tahun 2011 itu, jelas Pulau Tujuh milik Bangka Belitung karena kita terbentuk dulu. Di kekuatan hukum mereka hanya dimasukkan di pembentukan Kabupaten Lingga saja, di pembentukan Provinsi Kepri tidak tercantum Pulau Tujuh itu milik mereka,” kata Didit.
Didit menegaskan, DPRD Babel mendukung penuh langkah Pemprov Babel seperti yang disampaikan Gubernur Hidayat Arsani, untuk memperjuangkan kembali Pulau Tujuh ke wilayah Babel.
“DPRD Babel sangat mendukung keputusan Pemprov Babel yang disampaikan oleh Pak Gubernur untuk merebut kembali kepemilikan Pulau Tujuh karena perjuangan Babel sudah dari dulu, bukan hanya karena ada kejadian perebutan Pulau 4 antara Aceh dan Sumatera Utara ini,” tambahnya.
Menurut Didit, ada dua dasar hukum yang memperkuat klaim Babel atas Pulau Tujuh.
“Ada 2 dasar hukumnya, kita jelas berdasarkan Undang-undang, jika hanya mengacu pada keputusan Mendagri itu hanya di bawah Undang-undang,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa sejak UU pemekaran Provinsi Sumatera Selatan tahun 1950 hingga pembentukan Provinsi Kepulauan Babel melalui UU Nomor 27 Tahun 2000, wilayah Belinyu termasuk Pulau Tujuh telah masuk dalam wilayah Babel.
Selain itu, klaim diperkuat dengan peta rupa bumi Belinyu tahun 1986 dan peta laut pantai timur Sumatera tahun 1992. Bahkan saat pembentukan Provinsi Kepri melalui UU Nomor 25 Tahun 2022, Pulau Tujuh masih tercatat dalam wilayah Babel.
Namun, menurut Didit, perubahan terjadi setelah pembentukan Kabupaten Lingga tahun 2023 yang dituangkan dalam UU Nomor 31 Tahun 2023, serta SK Mendagri Nomor 30/141 Tahun 2022 yang memutakhirkan kode wilayah, menyebut Pulau Tujuh masuk ke Kepri.
Karena itu, DPRD Babel mendorong langkah hukum tegas.
“Oleh karena itu DPRD Babel mendorong Gubernur Hidayat Arsani untuk menggugat UU Nomor 31 Tahun 2023 tentang pembentukan Kabupaten Lingga ke Mahkamah Konstitusi, dan menggugat keputusan Menteri cukup ke Mahkamah Agung saja karena kita tetap harus hati-hati dalam menggugat,” ujar Didit.
“Artinya secara yuridis formal UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Susunan Pembentukan Perundang-undangan, Bangka Belitung lebih kuat dari Kabupaten Lingga,” tambahnya.
Didit juga menyebut Pulau Tujuh masuk dalam wilayah Belinyu sejak pembentukan Kabupaten Bangka tahun 1959. Ia menilai keputusan Mendagri saat ini sebagai langkah sepihak.
“Keputusan yang dikeluarkan oleh Mendagri RI terkait kepemilikan Pulau Tujuh adalah keputusan sepihak karena hasil rapat pendapat (RDP) antara DPRD Babel dan Biro Pemerintah Setda Pemprov Babel, mereka tidak pernah menyetujui adanya keputusan Menteri tersebut,” tegasnya.
Ia menyarankan agar langkah hukum dikawal oleh tenaga hukum lokal.
“Ini harus dikaji komprehensif dan kita menyarankan Pak Gubernur agar menggunakan lawyers dari Babel saja, tidak perlu dari luar,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia meminta Pemprov Babel segera berkomunikasi dengan Kemendagri RI untuk membahas persoalan ini, yang menurutnya tidak jauh berbeda dengan konflik perebutan Pulau 4 antara Aceh dan Sumut.
“Bicara untuk peluang kita bisa menang, karena kajian hukumnya sama, dimana persoalan Pulau Empat Aceh dan Sumatera akhirnya Mendagri membatalkan keputusan sebelumnya dan menyerahkan ke Aceh,” tutup Didit. (**)