Pangkalpinang, OkeyBung.com – Anggota DPRD Provinsi Bangka Belitung, Rina Tarol, mengungkapkan keprihatinannya terhadap PT Timah yang dinilai lebih mirip perusahaan jual beli timah dibandingkan perusahaan tambang. Pernyataan tersebut disampaikan dalam konteks polemik berkelanjutan terkait rencana aktivitas penambangan di Perairan Batu Beriga, yang menuai penolakan dari masyarakat.
Rina mengkritik tata kelola PT Timah yang dinilai tidak menjalankan fungsi utama sebagai perusahaan tambang. Ia menduga mereka tidak benar-benar menambang, sehingga IUP mereka seolah hanya digunakan untuk transaksi jual beli dengan mitra perusahaan.
Rina tidak menampik bahwa persoalan di Perairan Batu Beriga sangat kompleks. Menurutnya, keputusan tidak bisa diambil dengan mudah, mengingat masing-masing pihak memiliki dasar hukum atau legalitas.
“Secara hukum, PT Timah diketahui memiliki IUP untuk melakukan eksplorasi di Perairan Beriga yang dikeluarkan oleh Bupati Bangka Tengah pada 11 Mei 2011, dengan luas konsesi mencapai 5.039 hektare,” ungkapnya.
Rina mengakui bahwa perusahaan yang memiliki IUP memang berkewajiban melakukan penambangan. Namun, ia juga menyoroti adanya peraturan lain, yaitu Perda Nomor 2 Tahun 2019, yang menetapkan Tanjung Beriga sebagai wilayah pengembangan perikanan dan budidaya.
“Berdasarkan Pasal 36 Ayat 3, disebutkan bahwa budidaya perikanan laut seluas 10 hektare meliputi beberapa area, termasuk Pulau Panjang, Pulau Semujur, Pulau Ketawai, hingga Perairan Tanjung Beriga. Artinya, ada zona yang diperuntukkan untuk perikanan,” ujar Rina.
Ketidaksesuaian Luas Wilayah
Rina juga menyoroti perbedaan luas wilayah yang tercantum dalam IUP dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZPW3K) Nomor 3 Tahun 2020. Menurutnya, luas Perairan Beriga diperkirakan hanya sekitar 5.000 hektare, sementara dalam IUP tercatat lebih dari 4.000 hektare.
“Dasar dari RZPW3K ini apa? Mereka seharusnya mengacu pada IUP,” ungkapnya.
Analisis Dampak Lingkungan yang Dipertanyakan
Rina juga mempertanyakan keabsahan proses analisis dampak lingkungan (Amdal) yang menyertai IUP PT Timah.
Ia mencurigai bahwa perusahaan tidak melibatkan masyarakat dalam penyusunan Amdal tersebut.
“PT Timah mengklaim sudah memiliki Amdal, tapi saya bertanya-tanya, di mana buktinya?” tegasnya.
Dalam konteks ini, Rina mengutip Peraturan Pemerintah (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022, yang mewajibkan partisipasi masyarakat dalam penyusunan Amdal.
“Namun, menurut informasi yang saya terima dari warga, mereka tidak pernah dilibatkan. Ini menunjukkan bahwa ada masalah serius dalam proses tersebut,” imbuhnya.
Kekhawatiran Masyarakat
Keprihatinan masyarakat terhadap rencana penambangan di Perairan Batu Beriga semakin menguat. Pada 14 Oktober 2024, ratusan nelayan mendatangi gedung DPRD untuk mengekspresikan penolakan mereka terhadap rencana penambangan yang dianggap merugikan.
Rina menekankan bahwa kasus ini tidak hanya masalah hukum, tetapi juga berkaitan dengan keberlangsungan hidup masyarakat pesisir yang bergantung pada perikanan.
Sikap DPRD dan Masyarakat
Rina menyatakan bahwa DPRD hanya dapat memfasilitasi, tetapi siap mendampingi warga dalam perjuangan mereka.
Mengenai pencabutan IUP, dia menjelaskan bahwa kewenangan tersebut ada di tangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Jika masyarakat merasa dirugikan, mereka bisa mengajukan gugatan. Saya siap membantu mereka dalam proses ini,” ujarnya.
Dalam pandangannya, penting bagi PT Timah untuk kembali ke fungsi utama mereka sebagai perusahaan tambang yang bertanggung jawab dan memperhatikan dampak terhadap lingkungan dan masyarakat.
“Keberlangsungan hidup masyarakat harus menjadi prioritas utama,” tegas Rina.
Dengan situasi yang semakin memanas, perhatian terhadap kasus ini semakin meningkat, dan diharapkan ada langkah-langkah konkret dari pihak terkait untuk menyelesaikan masalah ini demi kepentingan bersama. (Tama/HR)